Dunia seolah ditakdirkan untuk selalu ditimpa dengan berbagai konflik dan kekacauan. Mulai dari konflik pribadi masing-masing individu, hingga konflik dengan skala yang sangat besar sekelas Negara.  Bahkan, timbulnya kekacauan dalam skala dunia pun pernah terjadi, seperti Perang Dunia I dan II. Sebagaimana yang kita ketahui dalam catatan-catatan sejarah, bahwa hampir semua negara yang ada di dunia ini pernah terlibat, atau (sekurang-kurangnya) terkena dampak dari kekacauan tersebut. Ada yang terlibat langsung -dalam artian ikut menggerakkan pasukan untuk melakukan serangan-, juga ada yang hanya menjadi korban dan bulan-bulanan oleh negara lain. Namun untunglah, saat ini kekacauan yang amat dahsyat itu telah ditemukan jalan keluarnya dan tidak terulangi lagi. Setidaknya kelahiran PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) secara resmi pada tahun 1945 mampu menghilangkan konflik yang berkepanjangan itu secara berangsur-angsur namun akurat.

Berakhirnya perang dunia ke-II tak lantas membuat segala kekacauan hilang dan sirna. Dalam satu sisi memang peperangan fisik antarberbagai negara sudah tak didapati lagi. Semua negara telah mencapai kemerdekaannya masing-masing pasca didirikannya organisasi PBB, meskipun dalam tempo yang beragam. Namun demikian, perselisihan global (antarberbagai negara) dalam arti khusus masih sangat jelas terjadi hingga saat ini. Arti khusus yang dimaksud ialah berupa peperangan non-fisik, seperti peperangan ideologi, ekonomi, politik, dan sebagainya.

Pun demikian, beberapa negara tertentu yang sebelumnya telah mencapai kemerdekaannya, kini kembali harus merasakan kekacauan fisik diakibatkan kepentingan-kepentingan pihak tertentu dalam mencapai tujuan-tujuannya yang cenderung bersifat subjektif. Apakah itu kepentingan dengan mengatasnamakan agama, keuntungan finansial (kekayaan), politik kekuasaan, dan lain sebagainya. Sehingga harapan akan terwujudnya zaman modern yang bebas dari kekerasan fisik pun masih sangat sulit untuk digapai. Ilmu pengetahuan yang sudah begitu deras tumbuh dan berkembang, tidak lantas menjadikan semua umat manusia “rela” untuk berpijak pada satu landasan yang mementingkan kebersamaan, kesatuan, dan perdamaian. Ilmu pengetahuan yang seharusnya dapat membangkitkan kebijaksanaan seseorang dalam bersikap, justru malah menjerumuskannya ke dalam suatu tindakan yang lebih mementingkan keuntungan pribadi, bahkan dengan cara mengorbankan hak-hak orang lain.

Kita akui, bahwa organisasi PBB telah puluhan tahun menjadi perantara yang sangat signifikan dalam pengentasan berbagai konflik yang pernah terjadi di dunia ini. Hampir seluruh negara di dunia telah mengikutsertakan dirinya ke dalam ikatan PBB demi melancarkan tercapainya tujuan-tujuan mulia yang hendak diraihnya. Berbagai organisasi cabang pun telah dibentuk. Masing-masing difungsikan untuk mengurusi bidang-bidang tersendiri yang sifatnya paling vital dalam kehidupan sosial masyarakat dunia, seperti organisasi kesehatan dunia, organisasi pendidikan, program pangan dunia, dan lain sebagainya. Dan berita baiknya ialah, bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan PBB melalui bidang-bidang khusus tersebut telah cukup banyak menyumbangkan solusi-solusi ampuh dalam mengatasi berbagai konflik yang menimpa dunia selama ini.

Namun satu hal yang perlu diingat ialah, bahwa eksistensi suatu organisasi yang mengurusi bidang tertentu tidak serta merta membuat seluruh konflik dapat terselesaikan. Akan selalu ada hambatan-hambatan besar yang tak selamanya dapat dengan mudah diatasi oleh suatu lembaga yang berwenang terhadap hal itu. Sebab, mungkin saja suatu solusi yang ditawarkan oleh para pakar di lembaga yang berwenang tidak cukup ampuh untuk mengatasi konflik tertentu secara utuh. Karenanya, dibutuhkan peran dari pihak ketiga untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap upaya-upaya PBB dalam mengatasi berbagai persoalan dunia yang semakin lama semakin rumit.

Sebagai seorang pemuda, penulis merasa berhak untuk menempati posisi dari “pihak ketiga” sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sebab, dalam diri seorang pemuda terdapat rasa keingintahuan yang sangat tinggi terhadap berbagai persoalan yang terjadi di sekitarnya. Hal ini kemudian berimplikasi pada munculnya sikap “peduli” untuk mencarikan solusi dan jalan keluar dari setiap konflik yang tengah diamatinya. Demikian juga dangan apa yang tengah penulis rasakan.

Satu persoalan yang menurut penulis cukup “urgen” untuk dianalisis dan disikapi dengan serius oleh PBB saat ini adalah mengenai arus pemberitaan yang disiarkan oleh berbagai media yang ada di seluruh dunia. Sebab, di era modern ini, media telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat, dengan beragam pemberitaan yang jumlahnya kian lama semakin tak terbendung. Hal ini –sedikit banyaknya— akan berpengaruh terhadap aspek psikologis masing-masing individu yang memperoleh berita-berita tersebut, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.

Kita lihat, begitu banyak media yang setiap detik berusaha menyajikan berita apapun yang didapat. Di satu sisi, hal ini merupakan suatu hal yang sangat berguna bagi masyarakat agar tidak ketinggalan informasi terbaru, sekaligus dapat memantau kondisi terkini di seluruh penjuru dunia. Kecanggihan alat komunikasi juga mendukung proses tersebut, sehingga berita apapun dapat diakses oleh siapa saja, kapanpun dan dimanapun. Namun di sisi lain, hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman. Sebab, pemberitaan yang terlalu dini disiarkan akan berpeluang besar menimbulkan pra-duga yang keliru dari pihak yang menyiarkannya. Alih-alih ingin menjadi penyaji berita tercepat, ternyata berita yang disuguhkan ke tengah masyarakat bukanlah fakta yang sesungguhnya terjadi. Mungkin hal itu disebabkan karena pengumpulan data yang belum lengkap namun sudah tergesa-gesa disiarkan, atau ada kepentingan subjektif tersendiri yang ingin disebarkan oleh si penyiar terhadap masyarakat. Hal ini kemudian dapat –bahkan tidak jarang— menjadi pemicu terjadinya konflik antara pihak-pihak tertentu.

Kita lihat, betapa banyak jenis media yang belakangan ini muncul bak jamur yang tumbuh di musim hujan, yang menjelma menjadi sumber berita bagi masyarakat dunia. Mulai dari media-media yang memiliki hak penyiaran resmi hingga media-media yang tidak jelas siapa pemiliknya (abal-abal). Mulai dari media cetak hingga media maya. Dan mulai dari media yang berbentuk tulisan hingga yang berbentuk video. Sistem pembuatan media yang “terlalu mudah”, membuat siapa saja –tanpa terkecuali— dapat dengan leluasa menciptakan tempatnya sendiri untuk menyampaikan segala hal yang ada di dalam pikirannya. Pendapat pribadi pun dapat diolah sedemikian rupa hingga terlihat seperti “sebuah fakta” yang kemudian mampu mempengaruhi pemikiran setiap orang yang membacanya.

Jika ditinjau dari sisi kemerdekaan pribadi, memang hal ini bukan menjadi suatu persoalan. Bahkan ini merupakan bentuk dari perwujudan kemerdakaan itu sendiri. Akan tetapi, kemerdekaan tanpa pengawasan juga mengakibatkan timbulnya dampak-dampak buruk yang merugikan. Kemerdekaan memang perlu, bahkan harus terwujud. Namun kemerdekaan itu sendiri harus dibarengi dengan ikatan hukum yang mampu menaunginya dari tindakan-tindakan di luar batas. Di sinilah pokok persoalan yang hendak penulis utarakan.

PBB sebagai organisasi terbesar di dunia, adalah pihak yang paling berwenang dalam mengatasi persoalan ini. Posisnya sebagai sebuah wadah yang telah menampung sebagian besar negara-negara di dunia, sudah selayaknya melakukan tindakan tegas terkait persoalan ini. Betapa banyak kita saksikan tragedi SARA yang terjadi di berbagai tempat di dunia. Jangankan dunia, di Indonesia saja orang-orang bisa saling membenci dengan mengatasnamakan suku, agama, atau partai tertentu hanya karena terpancing oleh isu-isu yang disebarkan melalui media. Tidak jarang pula media dijadikan alat yang praktis untuk melancarkan aksi tuduh-menuduh antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa di era modern ini, peperangan secara fisik antar berbagai negara (seperti yang terjadi pada pernag dunia I dan II) memang sudah berakhir. Namun perang ideologi dan perang non-fisik lainnya terasa masih terus berlanjut. Media adalah salah satu alternatif yang cukup ampuh untuk digunakan dalam rangka memenangkan peperangan tersebut. Buktinya, berbagai propoganda dibuat dan disebarkan melalui media yang ditujukan untuk menghasut khalayak ramai agar membenci atau mempercayai pihak tertentu. Hal itulah yang kemudian membuka jalan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjalankan misi-misi yang telah dirancangnya.

Sebenarnya, secara tertulis, PBB telah merancang undang-undang tersendiri terkait penyebaran berita melalui media. Hal ini dapat ditemukan dalam naskah perundang-undangan PBB tentang Data dan Informasi yang dirumuskan dalam resolusi Majelis Umum 630 (VII) tertanggal 16 Desember 1952. Di dalam mukaddimahnya, terdapat beberapa kutipan kalimat yang berbunyi:[1]

Mukadimah

Para Negara Peserta,

Mengingatkan untuk melaksanakan hak bangsa mereka untuk diberi informasi secara penuh dan dapat dipercaya,

Menginginkan untuk memperbaiki pengertian di antara bangsa-bangsa mereka melalui arus bebas informasi dan pendapat,

Menginginkan dengan demikian untuk melindungi umat manusia dari bencana perang, untuk mencegah terulangnya kembali agresi dari sumber apapun, dan untuk memerangi semua propoganda yang dirancang ataupun yang mungkin digunakan untuk menghasut atau mendorong ancaman apapun terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau perbuatan agresi,

Mempertimbangkan bahaya terhadap pemeliharaan hubungan bersahabat antara bangsa-bangsa dan pelestarian perdamaian, yang timbul dari pengumuman laporan-laporan yang tidak akurat,

Semua kalimat yang tertera dalam Mukadimah di atas merupakan “ketentuan” yang telah disepakati bersama oleh negara-negara anggota di bawah naungan PBB. Di sana terlihat bagaimana PBB telah memberikan perhatian yang sangat besar demi terjaminnya arus informasi yang akurat dan terpercaya. Segala informasi yang berpeluang merusak kedamaian atau menimbulkan konflik dan kekacauan adalah terlarang sama sekali. Itu artinya, semua peristiwa yang dengan sengaja “melanggar” ketentuan ini berhak dan harus dijatuhi hukuman.

Namun faktanya, apa yang diharapkan belum sepenuhnya terwujud. Berita-berita yang disebarkan melalui berbagai media masih menjadi pemicu yang sangat besar pada  terciptanya ketidakharmonisan berbagai pihak, baik itu antara individu dengan individu yang lain, kelompok satu dengan kelompok yang lain, bahkan antara satu negara dengan negara yang lain. Hal ini lah yang penulis maksudkan sebagai “tugas besar” yang harus segera diselesaikan oleh PBB. Mengingat semakin banyak korban-korban yang berjatuhan akibat konflik-konflik yang terjadi, yang sebagian besarnya bermula dari penyebaran informasi-informasi yang tidak akurat.

Nah, terkait permasalahan ini, penulis menawarkan dua solusi kepada PBB. Pertama, melalui otoritasnya sebagai organisasi yang membawahi hampir seluruh negara-negara di dunia, PBB harus mempertegas kembali peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama dalam resolusi Majelis Umum 630 (VII) tertanggal 16 Desember 1952 kepada setiap negara anggota untuk ditindaklanjuti dengan serius. Maksudnya, setiap negara anggota diminta untuk mempertegas kembali peraturan dalam negerinya terkait kebebasan penyebaran informasi lewat media. Bisa dengan memperketat perizinan penggunaan media oleh masyarakat dalam suatu negara, atau dengan cara-cara lain yang dirasa lebih ampuh. Intinya, peraturan yang dibuat harus sejalan dengan yang telah dirumuskan oleh PBB dan mampu mewujudkan tujuan-tujuan perdamaian dan terhapusnya segala bentuk konflik pada setiap lini kehidupan masyarakat dunia.

Kedua, PBB harus “memaksa” setiap negara anggota untuk menjatuhkan sanksi yang tegas –bahkan berat— terhadap siapa saja (baik bersifat individu maupun kelompok) yang dengan sengaja menyebarkan informasi-informasi palsu yang dapat memicu timbulnya konflik atau merusak perdamaian dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Semoga dengan logonya yang bergambar zaitun (merupakan simbol untuk perdamaian), dan gambar peta dunia ditengahnya (melambangkan seluruh masyarakat dunia), PBB semakin mampu untuk mewujudkan kehidupan dunia yang damai, aman, bebas konflik, dan sejahtera dalam satu ikatan yang erat.

[1] M. Ghufron H. Kordi K., HAM tentang Perbudakan, Peradilan, Kejahatan Kemanusiaan & Perang, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) Cetakan I, hlm. 267

Oleh: Hamdi Putra Ahmad

Categories: ARTIKEL

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *