Kajian atas Alquran telah dilakukan oleh umat Islam sejak masa sahabat, meskipun pada saat itu belum menggunakan sistematika sebagaimana dilakukan pada masa sekarang. Kajian Alquran dengan menggunakan seperangkat ilmu yang terstruktur baru dilakukan oleh para ilmuwan muslim pada abad ke-3 H. Pada abad tersebut, mulai dikaji berbagai ilmu untuk menafsirkan Alquran. Mulai dari asbab al-nuzul, naskh-mansukh, hingga musykil al-Qur’an.
Kajian-kajian tersebut terus berkembang hingga abad ke 4-H dan puncaknya, pada abad ke 5-H muncullah Ali bin Ibrahim ibn Sa’id al-Huffy yang menghimpun bagian-bagian ilmu tersebut dalam karyanya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Seakan telah membuka keran pengetahuan, di masa setelahnya, para pengkaji muslim lebih giat lagi dalam menyusun seperangkat ilmu untuk memahami Alquran. Yang paling fenomenal ialah karya Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an.[1]
Seiring berjalannya waktu, kajian atas Alquran tidak hanya dilakukan oleh umat Islam saja, namun juga oleh pengkaji di luar Islam. Meskipun pada awalnya kajian Alquran yang ada diwarnai pertarungan ideologis sehingga menimbulkan nuansa yang polemis.[2] Ketertarikan mereka terhadap Alquran pada awalnya karena secara historis, pada masa kejayaan Islam, Alquran memiliki peran yang sentral.
Semakin dini, kajian Alquran yang ada menunjukkan bahwa para pengkaji semakin dewasa dalam melakukannya. Salah satu diantara mereka adalah seorang ilmuwan yang mengajar di universitas Jerman yang bernama Angelika Neuwirth. Salah satu kajiannya terhadap Alquran ialah tentang sumpah yang banyak digunakan dalam Alquran. Kajiannya terhadap kelompok sumpah ini memberi nuansa baru dalam khazanah keilmuan Alquran.
Dalam tulisannya yang berjudul “Images and Metaphors in the Introductory Sections of the Makkan Suras”, ia menyebutkan bahwa secara garis besar, Alquran menggunakan sumpah dalam dua kategori, yaitu: pertama, sumpah yang memiliki kesan legal-formal. Kategori sumpah ini tidak terlalu banyak ditemukan di dalam Alquran. Jenis sumpah ini pada umumnya ditemukan dalam ayat-ayat yang mengandung pernyataan serius yang membawa nama Tuhan sebagai saksi atas kebenaran dari suatu pernyataan yang dibawa.
Kedua, ia menyatakan bahwa ada juga jenis sumpah yang benar-benar kosong dari konten legal-formal, dan ini, olehnya dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian. Menurutnya, jenis-jenis sumpah ini hanya berfungsi sebagai perangkat sastra Alquran. Ketiga jenis sumpah tersebut yaitu: 1) kelompok sumpah yang menggunakan formula wal-fa’ila, 2) kelompok sumpah yang menyinggung tempat-tempat suci tertentu, dan 3) kelompok sumpah yang menggunakan fenomena alam. [3]
Kelompok sumpah pertama ialah kelompok sumpah yang dianggap paling rumit oleh para pengkaji Alquran. Sumpah jenis ini tidak menyebutkan objek yang dimaksud. Jenis sumpah ini dikenal akan karakternya yang penuh teka-teki dan keambiguannya yang tampak secara tata bahasa Arab. Penggambaran profan yang ditampilkan bisa jadi menunjukkan ketidaksesuaiannya dengan tujuan umum surat sebagai teks suci keagamaan. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah sumpah yang terkandung di QS. al-‘Adiyat; QS. al-Nazi’at; QS. al-Mursalat; QS. al-Dhariyat.
Kelompok sumpah kedua ialah kelompok sumpah yang banyak menyinggung tempat-tempat suci yang memiliki peranan penting dalam sejarah umat agama. Salah satu tempat yang sering disebut adalah Makkah: satu kali tersebut secara personal dan dua kali tersebut berbarengan dengan Bukit Sinai sebagai tempat kedua. Dari ketiga kelompok sumpah yang ada, kelompok yang kedua ini, hubungan semantik antara formula sumpah dan teks setelahnya dapat diketahui secara langsung. Yang termasuk kelompok sumpah ini adalah: QS. al-Tin; QS. al-Balad; QS. al-Tur.
Kelompok sumpah ketiga ialah sumpah yang menggunakan fenomena-fenomena astronomi. Kelompok ini, sebagaimana kelompok sumpah pertama, juga tidak menunjukkan koherensinya dengan ayat-ayat berikutnya. Lebih jauh, secara signifikan, kelompok ini sangat berbeda dengan sumpah yang telah dibahas sebelumnya.
Kelompok sumpah ini tidak mengacu pada fenomena alam yang berupa kejadian eskatologis yang akan datang atau mengacu pada tempat tertentu yang dianggap sebagai tanda simbolis, melainkan merujuk pada kejadian yang benar-benar abstrak seperti fase waktu atau fenomena astronomis. Dalam beberapa kesempatan, sumpah ini sering pula dijumpai berkelompok dan merujuk pada subjek yang sama. Kelompok sumpah ini lebih sering dijumpai di dalam Alquran, di antaranya adalah: QS. al-Duha; QS. al-Layl; QS. al-Syams; QS. al-Fajr; QS. al-Thariq; QS. al-Buruj.[4]
Kontribusi Neuwirth di atas tampak nyata dalam pengklasifikasiannya terhadap macam-macam sumpah di dalam Alquran. Bahwa hanya sedikit saja di dalam Alquran, kalimat sumpah yang membawa nama Tuhan. Lebih dari itu, ia menyebutkan bahwa formula sumpah yang lebih banyak disebutkan adalah materi-materi non-Tuhan: tempat-tempat suci dan fenomena alam.
Penyebutan materi non-Tuhan yang lebih banyak daripada penyebutan nama-nama Tuhan dalam sumpah itu, bukanlah tanpa tujuan. Hal itu menunjukkan betapa Alquran memiliki sifat universal. Selain itu, Alquran seakan-akan berdialog dengan pendengar pertamanya sekaligus berfungsi sebagai prolog sebelum sampai kepada pesan utama yang ingin disampaikan.
Oleh : Ahmad Ahnaf Rafif
[1] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hlm. 6-8.
[2] Lien Iffahh Naf’atu Fina, “Survei Awal Studi Perbandingan Al-Qur’an dan Bibel dalam Kesarjanaan Barat: Sebuah Perjalanan Menuju Intertekstualitas” dalam Suhuf, Vol. 8, No. 1, 2015, hlm. 124.
[3] Angelika Neuwirth, “Images and Metaphors in the Introductory Sections of the Makkan Suras”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef (ed.), Approaches to the Qur’an, (London: Routledge, 1993), hlm. 4.
[4] Angelika Neuwirth, “Images and Metaphors in the Introductory Sections of the Makkan Suras”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef (ed) Approaches to the Qur’an, (London: Routledge, 1993), hlm. 5-24.
0 Comments