Santri adalah sebutan bagi orang yang belajar, mengajar, dan mengabdikan diri di pesantren. Terminologi semacam ini kemudian berkembang lebih luas bahwa santri tidak terbatas pada sosok orang yang berada di pesantren. Namun, orang-orang yang memiliki akhlak seorang santri maka dapat dikatakan pula sebagai seorang santri.

Perkembangan zaman yang semakin menjadi-jadi menuntut santri untuk terus mengikutinya. Bukan hanya untuk mengikuti, tetapi pergerakan santri juga dituntut untuk mengarahkan perkembangan zaman menuju ke arah yang lebih baik. Meminjam istilah Sunan Kalijaga, ngeli nanging ora keli—mengikuti alur tetapi tidak terbawa arus.

Oleh karena itu, seorang santri—dalam hal ini dikerucutkan sebagai seseorang yang menetap di pesantren—harus selalu siap menjadi santri Kini dan Nanti.

Menjadi santri kini, maksudnya?

Pada zaman ini, tentu saja seorang santri harus bisa memainkan peran semampu yang ia bisa lakukan. Konsentrasi terbesar yang harus dilakukan tentu saja belajar. Belajar segala ilmu yang diajarkan di pesantren kemudian mengembangkan keilmuan dengan membaca buku dan referensi-referensi lain yang akan mendukung nasibnya di masa depan.

Selain itu, santri harus mulai bersikap kritis terhadap segala sesuatu yang terjadi di hadapannya. Perlu diingat, yang harus dikembangkan adalah kritis, bukan arogan. Dalam sebuah majlis, Dr. Fakhrudin Faiz menjelaskan bahwa dalam filsafat ego yang berhubungan dengan pendidikan, seorang murid tidak boleh mempertanyakan kehendak sang guru. Hal ini dimaksudkan bahwa seorang murid tidak akan memahami maksud sang guru karena ia belum mencapai level sang guru.

Apalagi melihat fakta zaman sekarang, bahwa seseorang dapat dengan mudah mencari informasi apapun hanya dengan gadget yang dibawanya. Bukan berarti tidak dapat dibenarkan jika seorang santri juga mempunyai gadget mereka sendiri. Tetapi harus ditekanka bahwa jika persiapan mereka belum matang, mereka hanya akan terbawa arus perkembangan teknologi tanpa mampu mengarahkan dan mengendalikanya. Maksud hati agar perkembangan dapat dikendalikan, apalah daya diri yang tak siap hanya akan menjadi korban.

Dari sini dapat dikatakan bahwa menjadi seorang santri pasif bukanlah pilihan. Seorang santri, saat ini, harus berani menunjukkan eksistensi di dunia maya dan nyata. Di dunia maya dengan memberikan konten-konten sosial media yang berguna dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Di dunia nyata, seorang santri harus aktif di segala lini; organisasi, pergerakan, sosial kemasyarakatan dan berbagai lini lainnya.

Tentu saja beberapa hal di atas harus dibarengi dengan sikap dan akhlak yang mencerminkan pribadi seorang santri. Betapa dapat ditemukan pada saat ini, para santri yang mulai kehilangan identitasnya ketika sudah mulai berani eksis di dunia luar. Pada mulanya, seorang santri yang dituntut menjadi pribadi baik dan sopan di hadapan Kyai berubah menjadi santri yang arogan di panggung luar pesantren.

Memang dapat dibenarkan bahwa santri saat ini tidaklah sama dengan santri pada zaman dahulu. Tetapi sesungguhnya pertarungan yang menanti santri saat ini lebih besar daripada santri pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu, santri adalah salah satu peserta perang dalam rangka mendapatkan kemerdekaan Indonesia. Pada zaman sekarang, santri dituntut menjadi peserta perang melawan emosi dan gejolak dalam diri mereka masing-masing agar tidak mudah tersulut dengan isu dan berita yang memerlukan  pengecekan ulang.

Lalu, bagaimana menjadi seorang santri pada masa nanti?

Nanti, pertarungan yang akan dihadapi seorang santri adalah pertarungan yang tidak menampakkan musuh di depan mata. Pertarungan digital. Nanti, santri tidak akan memanggul bambu runcing untuk menusuk musuh. Mereka hanya akan menggunakan jari mereka untuk berperang. Bahkan, peribahasa mulutmu harimaumu sudah beralih menjadi jarimu harimaumu. Mengapa? Bisa kita lihat bahwa perdebatan mengenai apapun dengan tema apapun dapat dijumpai bukan hanya di forum debat dan kajian ilmiah, melainkan di kolom komentar sosial media.

Oleh karena itulah santri tidak boleh lepas dari identitas kesantrian yang memegang teguh kitab-kitab klasik sebagai rujukan, menghadap kyai dan orang tua dengan penuh takdzim dan kesopanan, serta menjadi pribadi hemat biaya, hemat kata, hingga orang tua memberikan kiriman. Hehehe.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa seorang santri tidak hanya dituntut mengikuti perkembangan zaman, tetapi juga dituntut untuk mengarahkan zaman agar berkembang menuju arah lebih baik. Tentu saja, seorang santri tidak akan merubah apapun dari luar diri mereka jika mereka tidak mampu merubah dan mengarahkan sikap serta akhlak mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Kesimpulannya, menjadi santri tidak akan pernah terbatas waktu. Senantiasa menjadi santri dari segi pikiran, raga, serta jiwa adalah sebuah keniscayaan. Karena yang disebut nanti, bukanlah hari esok. Tetapi perhitungan nanti dengan segala persiapan dan tantangannya telah dimulai dari hari ini, jam ini, menit ini, dan detik ini.

Muhammad Farid Abdillah – Yogyakarta, 11 Oktober 2018.

Categories: ARTIKEL

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *