Ada hal yang unik untuk kita kaji dan resapi. Waktu itu,  ketika kegiatan ngariung bersama dalam acara yang diadakan Gusdurian Bandung.  Bersama narasumber dari salah satu dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Kyai Syamsuddin yang selalu mengenakan baju khas Jawa dan berambut gondrong.

Terjadilah obrolan panjang mengenai angka 9 yang krusial. Angka sembilan sebagai perhitungan identitas negara, nama Indonesia yang terdiri dari 9 huruf,  merdekanya Indonesia tahun ’45 yang jika dijumlahkan menjadi 9, jumlah wali termasyhur di Nusantara yang bernama Walisongo atau wali sembilan. Tidak berhenti di situ bahkan nama-nama kerajaan beserta raja-rajanya yang berjumlah 9 huruf,  seperti Siliwangi, Pajajaran, Gajah Mada, Majapahit,  dan seterusnya. Angka sembilan seakan-akan sudah menjadi komoditas untuk dijadikan andalan dalam segala hal yang berkaitan dengan Indonesia.

Beliau bercerita, dahulu kala ketika negeri yang kita cintai ini dijajah oleh kolonial Belanda, tepatnya pada tanggal 10 November. Saat itu menjadi waktu yang menentukan nasib Indonesia. Di mana para pahlawan berdarah-darah memperjuangkan hidup dan matinya demi merdekanya negeri kita tercinta, Indonesia.  Ada beberapa hal unik yang menarik perhatian kita sebagai penghuni asli nusantara. Ada yang perlu kita pertanyakan?  Mengapa kok perang tersebut terlaksana 10 November,  tidak 9 November yang menjadi ciri khas Indonesia?

Pertanyaan sepele memang,  bahkan cenderung tidak penting, namun ada makna yang mendalam dan hikmah yang besar dari pertanyaan yang konyol tersebut.

Kyai Syamsuddin menjawab, “Sebenarnya, pada tanggal 9 November arek-arek Suroboyo dan ulama-ulama mujahidin, telah mempersiapkan segala kekuatannya untuk melawan tentara Britania yang dipimpin oleh Jenderal Mallaby. Akan tetapi kyai Abbas yang diutus menjadi pemimpin perang,  masih berada di kediamannya, tepatnya di Cirebon. Sesampainya pesan untuk segera menuju ke Surabaya,  akhirnya beliau menuju ke Surabaya.  Di tengah gentingnya suasana Surabaya,  kyai Abbas di pertengahan jalan, sempat-sempatnya mampir di Rembang, menuju kediaman Kyai Bisri dan diajak ngopi. Pada akhirnya, peperangan terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, karena ke-santai-an Kyai Abbas dalam menghadapi koloni penjajah, hehe..”

Kesantaian para ulama terdahulu rupanya menjadi suatu panutan bagi para santri. Santri terbiasa hidup santai dengan segala kekurangan, dan kesederhanaan. Santai dalam menghadapi permasalahan.  Karena “santai” merupakan salah satu manifestasi atau ungkapan rasa tawakkal kita kepada Allah.  Rasa keyakinan yang kuat terhadap ketentuan dan kekuasaan Allah.

Itulah prinsip seorang santri yang diwariskan oleh para kyai terdahulu. So,  tetap santai dalam menghadapi sesuatu,  dan tetap bertawakkal kepada Allah,  karena Allahlah dzat yang maha segala-galanya.

*oleh M. Fahri Yahya

(Mahasantri CSSMoRA UIN SGD Bandung angkatan 2017)


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *