Secara ideal ibadah puasa bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan diri, tetapi juga berkaitan dalam perilaku kehidupan bermasyarakat. Sebab, tingkat keberhasilan puasa tidak hanya berada pada peningkatan aktivitas ibadah seorang, tetapi juga membangkitkan keinginan untuk ibadah sosial.

Menahan haus dan lapar menjadi hal biasa untuk orang miskin, dan tentunya sudah menjadi hal yang harus diperjuangkan setiap harinya. Benar adanya jika orang miskin jauh dari konsumerisme, karena mereka terbiasa menahan keinginannya. Sedangkan untuk orang kaya, hidup konsumtif menjadi kebiasaan, karena menahan hasrat untuk memenuhi keinginannya bukanlah hal yang lumrah.

Hakikat dari puasa ialah meniscayakan kesamaan perasaan dan realitas sosial. Baik orang kaya ataupun orang miskin dituntut agar mampu menahan lapar dan haus akan materi. Tidak ada yang membedakan orang puasa kecuali ketakwaannya, karena puasa menjadi proses penyucian jiwa sebagai manusia yang memiliki potensi kebaikan dan kesempurnaan.

Kemungkaran sosial menjadi keniscayaan yang semakin merasuki umat, bahkan sampai diyakini sebagai hal biasa yang akhirnya dianggap sebagai hakikat. Tak ayal, jika kemungkaran sosial hanya mungkin mampu diatasi oleh orang-orang yang tak hanya saleh secara individual tetapi juga saleh secara sosial.

Kesalehan individual sering kali diartikan sebagai kesalehan ritual, karena lebih menekankan pada pelaksanaan ibadah ritual. Alasan lain kenapa disebut kesalehan individual yaitu karena hanya mementingkan ibadah dengan Tuhan serta kepentingan diri sendiri. Sementara pada waktu yang sama mereka cenderung tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam bermasyarakat. Kesalehan seperti ini ditetapkan berdasarkan ukuran formal, yang hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minannas.

Sedangkan kesalehan sosial mengacu pada perilaku orang-orang yang peduli dengan nilai-nilai islami yang bersifat sosial. Dengan demikian, kesalehan sosial tidak hanya ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa dan haji, melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan kemampuan untuk berbuat kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya.

Kedua corak kesalehan tersebut, dalam Islam merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar. Seharusnya kedua sikap tersebut harus dimiliki seorang muslim. Islam mengajarkan bahwa, seseorang harus total dalam mengerjakan kesalehan sosial, artinya saleh individu juga diimbangi dengan saleh sosial. Karena sejatinya ibadah individual selain bertujuan sebagai pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang memiliki dampak posistif baik untuk dirinya sendiri maupun dalam kehidupan sosialnya.

Nilai-nilai sosial yang terkandung pada ibadah puasa tidak terkandung dalam praktik puasa saja. Puasa merupakan salah satu sistem yang mampu menghilangkan sifat tidak terpuji, seperti halnya siifat angkuh, sombong, bakhil, egois, dan sifat tidak terpuji lainnya. Karena dengan berpuasa, maka seorang muslim akan mengetahui serta menyadari betapa lemah dirinya. Kesalehan sosial bisa dicapai jika kita mampu menanamkan kesadaran akan kehadiran orang lain dalam diri kita, hal itu sebagai perwujudan dari pengaruh puasa.

Ibadah puasa mampu membuka tabir ruang pribadi yang masih dibingkai dengan sikap egois. Hal ini menandakan bahwa, ibadah puasa menekankan sikap solidaritas sosial yang tinggi terhadap orang lain sebagai wujud dari tingkatan takwa yang diliputi oleh keikhlasan. Sejatinya manusia memiliki kecintaan terhadap harta benda sebagai naluri mempertahankan diri. Kecintaan tersebut seringkali melahirkan sikap bakhil serta individualis, mementingkan diri sendiri dan enggan berbagi.

Dengan melakukan ibadah puasa, manusia dilatih untuk dapat meminimalisasi sikap bakhil dan individualis dalam dirinya sehingga dia mau berbagi dengan orang lain. Ibadah puasa erat kaitannya dengan pesan etika kesalehan sosial yang tinggi, seperti halnya pengendalian diri, disiplinan, jujur, sabar dan solidaritas. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya kesalehan individu dengan kesalehan sosial. Oleh karena itu diharapkan bahwa output dari ibadah puasa mampu melahirkan manusia beriman yang tidak hanya memiliki kesalehan individual tetapi juga manusia beriman yang memiliki keselahan sosial.

Pada akhirnya, momentum puasa dapat menjadi spirit bagi kita untuk mewujudkan komitmen transformasi sosial, untuk bertransformasi atau berhijrah yang menuntut pengorbanan, cinta, dan kasi menuju masyarakat sejahtera yang kita cita-citakan bersama.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *