Tradisi Mabbaca Barzanji (Pembacaan Barzanji) Suku Bugis dan Mandar sebagai Media Dakwah
oleh : Fikru Jayyid Husain
Pembacaan Barzanji adalah tradisi lumrah yang banyak dipraktikkan suku-suku yang mendiami Nusantara, diantaranya adalah suku Bugis dan Mandar. Kedua suku ini mayoritas bertempat tinggal di Sulawesi Selatan dan Sulaweis Barat. Tradisi membaca Barzanji adalah salah satu warisan dari para pendahulu di dua suku ini. Dalam berbagai momentum, Barzanji merupakan bacaan wajib, terlebih dalam acara peringatan maulid atau isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad saw.
Barzanji adalah sebuah kitab yang berisi pujian-pujian dan doa-doa dalam bentuk syair yang mengisahkan Nabi Muhammad saw. Dalam praktiknya, Barzanji dibaca dengan irama dan nada tertentu yang terkesan cepat. Nama kitab Barzanji sendiri diambil dari nama daerah pengarangnya, Syekh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim al-Barzanji. Walaupun sebenarnya kitab ini diberi judul Iqd al-Jawahir oleh pengarangnya sendiri, namun generasi Muslim setelahnya lebih memilih menamakan kitabnya dengan nama Barzanji sebagai bentuk pengorbanan kepada Syekh Ja’far.
Awalnya, kitab Barzanji ini hanya dibaca dalam rangka memperingati maulid Nabi Muhammad saw. Pada masa kitab Barzanji ditulis, praktik peringatan dengan pembacaan Barzanji belum menjadi tradisi yang lumrah. Baru pada abad 13 M, seorang yang bernama Muzaffar ad-Din di Irak memperkenalkannya dan kemudian menyebar ke berbagai daerah hingga sampai ke Riau yang merupakan daerah Nusantara.
Suku Bugis dan Mandar umumnya membiasakan praktik pembacaan Barzanji dalam berbagai momentum, misalnya akikah, perkawinan, khitanan, khataman, syukuran, peringatan kematian (haul), bagi orang yang ingin berangkat haji, dan banyak lagi momen dimana orang-orang berkumpul pada satu tempat. Mereka yang tinggal di daerah pedalaman, khususnya para orang tua, menganggap bahwasanya suatu acara tidak akan dilaksanakan dan tidak dianggap sah jika tidak dilakukan pembacaan Barzanji.
Penulis pernah mewawancarai salah seorang guru di pondok pesantren di daerah Bugis. Narasumber sendiri dianggap sebagai orang yang mumpuni dalam menjelaskan budaya-budaya yang ada di tanah Bugis. Narasumber menjelaskan bahwasanya asal-usul Barzanji dalam budaya Bugis berasal dari tradisi pembacaan syair orang-oranh terdahulu. Kegiatan pembacaan syair dibuat menjadi suatu acara sehingga orang-orang berkumpul untuk mendengarkannya. Saat Islam sudah mulai masuk di tanah Bugis, para pendakwah dalam menyebarkan ajaran Islam memiliki tradisi tersendiri dalam menghadapi budaya masyarakat tempat mereka berdakwah. Mereka memasuki celah-celah yang dinilai efektif dan efisien dalam melaksanakan dakwah tanpa harus ada crush antara budaya setempat. Pelan namun pasti, acara pembacaan syair-syair diganti dengan pembacaan Barzanji yang notabene adalah syair. Adapun mengenai asal-usul Barzanji di tanah Mandar, penulis belum mendapatkan informasi tentang hal tersebut, namun kemungkinan besar sama dengan apa yang terjadi di tanah Bugis.
Disamping benar atau tidaknya informasi yang disampaikan narasumber diatas, satu hal yang bisa dipahami, bahwasanya akulturasi antara Islam dan budaya setempat dilakukan ketika substansi ajaran Islam tidak dirubah. Fleksibelitas ajaran Islam tergambar dalam banyaknya ajaran-ajaran Islam yang telah teakulturasikan dengan budaya setempat. Salah satunya adalah tradisi Barzanji.
Anggapan masyarakat Bugis dan Mandar bahwasanya pembacaan Barzanji adalah suatu kewajiban dalam setiap acara adalah bentuk kesuksesan para pendakwah Islam di tanah Bugis dan Mandar. Pembacaan Barzanji menjadi media dakwah dalam mengajarkan agama Islam lewat pembacaan kisah hidup Nabi Muhammad saw. sekaligus menumbuhkan rasa cinta terhadap Nabi saw. Tradisi pembacaan Barzanji di suku Bugis dan Mandar biasanya dibaca dalam dua bahasa, bahasa Arab (bahasa asli Barzanji) dan terjemahannya dalam bahasa Bugis atau Mandar.
Belakangan, di era kontemporer, sudah sangat jarang didapati pembacaan Barzanji dalam dua bahasa (kecuali dalam acara Maulidan). Barzanji hanya dibaca menggunakan bahasa Arab saja sehingga masyarakat yang tidak paham bahasa Arab tidak bisa mengerti apa yang dibaca. Jika seperti ini, pembacaan Barzanji telah kehilangan substansinya sebagai media untuk berdakwah dan mengajarkan bagaimana kehidupan Nabi saw. kepada masyarakat.
Fenomena pembacaan Barzanji tanpa memperhatikan apakah para audiens memahami atau tidak adalah sebuah kekeliruan. Kekeliruan ini sudah menjadi satu hal yang mainstream sehingga masyarakat sudah menganggapnya suatu hal yang biasa saja. Jika hal ini terus menerus berlanjut maka tradisi Barzanji pun bisa menjadi tradisi yang sia-sia dan kemungkinan besar masuk dalam kategori haram. Karenanya penulis memandang perlu adanya usaha untuk membangun kembali kesadaran akan sejarah tradisi pembacaan Barzanji, terkhusus di tanah Bugis dan Mandar untuk memahami hakikat dan substansinya.
Pemahaman-pemahaman yang cenderung keras kerap kali kita lihat pada era kontemporer juga menjadi penghambat dalam pelestarian tradisi pembacaan Barzanji ini. Para pemuda yang minim pemahamannya mengenai budaya sendiri pun bisa dibilang penghalang karena berakibat sangat mudahnya dimasuki pemahaman-pemahaman radikal yang cenderung kaku, yang pada akhirnya cenderung menganggap pembcaan Barzanji itu sebagai bid’ah.
Jika pembacaan Barzanji sebagai bid’ah dan dilarang untuk dipraktikkan, maka itu tak mengapa selama ada alternatif lain yang efektifitasnya sama dengan tradisi pembacaan Barzanji. Masyarakat tidak semuanya berinisiatif untuk mempelajari kisah kehidupan Nabi Muhammad saw. Melihat keadaan masyarakt yang demikian, penulis berpendapat bahwasanya tradisi pembacaan Barzanji tetap harus dilestarikan. Namun dalam praktiknya, perlu menggunakan bahasa lokal sehingga masyarakat sebagai audiens bisa memahami dan mengambil pelajaran dari kisah Nabi saw. yang telah tertuang dalam syair-syair Barzanji.
0 Comments