Kalau kita membicarakan tentang korupsi tentu saja semua orang baik-baik, kayak kita-kita ini, sangat menolak korupsi. Ia ibarat suara cempreng yang tidak enak didengar, tapi masih ada saja yang melantunkan untuk didengarkan. Ia punya daya rusak kayak kanker yang mematikan. Mana ada yang mengharap kedatangannya, hadirnya tanpa undangan. Tapi kalau ia sudah sowan ke tubuh makhluk hidup, susah buat dihilangin dan perlahan-lahan ia mampu membunuh makhluk hidup tersebut.
Kalau suatu negara sudah mengindap korupsi kronis, tugas negara seperti pembangunan, pelayanan publik, distribusi sumberdaya, melindungi rakyat, dan seterusnya bakalan tidak berjalan baik. Makanya kemudian jangan heran kalau masih saja ada rakyat yang merasa tidak pernah “disentuh” sama negara. Persolaan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami suatu negara menandakan bahwa ada infeksi korupsi kronis yang terjadi di tubuh penyelenggara negara.
Bisa jadi, ledakan bom atom korupsi jauh lebih dahsyat ketimbang bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki tempo dulu. Sudah jadi kayak semacam budaya baru kalau rampasan harta rakyat yang bukan miliknya direbut untuk kepentingan pribadi. Karena yang namanya korupsi, radius penikmatnya begitu luas. Tak hanya dinikmati di tataran elite bangsa, bahkan sampai merambah ke level akar rumput.
Jangan kira penegak hukum di suatu lembaga, birokrat, akademisi, pengusaha, pembisnis, ustadz, atau ketua CSSMoRA baik PTN maupun yang Nasional itu bersih semua. Sangat berpotensi sekali menjadi penikmat korupsi baik dari segi uang, kebijakan, kedudukan, dan sebagainya yang sifatnya menguntungkan secara sepihak tapi menafikan kemaslahatan umum.
Supaya pembahasan korupsi secara maknawi tidak jauh melebar, KBBI mengerucutkan bahwa korupsi itu merupakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Orang lain di sini tentunya secara personal saja, tidak untuk semua orang.
Kalau kita lihat secara moralitas dan spiritualitas, korupsi itu jelas pendosa dan nilainya pun masuk tataran dosa. Tapi ya sudahlah, kita move on saja bahas dosa-dosaan. Nanti ujung-ujungnya menilai kafir atau neraka. Ini tidak bagus kalau dikonsumsi anak-anak kayak kita-kita.
Tapi coba kalau kita melihat dari segi ekonomi. Dari kacamata ekonomi, dengan korupsi akan terlihat kemanfaatan ekonomi untuk banyak orang. Jadi kalaupun perbuatan itu tidak baik dari segi agama atau moral, pandangan ekonomi ini bisa jadi malah sebaliknya. Nilainya bisa berubah baik.
Jadi kalau uang korupsi digunakan seratus persen berfoya-foya untuk belanja hal yang produktif itu akan berdampak bagus bagi ekonomi. Beli buku buat didistribusikan ke perpustakaan, revonasi fasilitas umum, atau beli alat deteksi kehamilan, atau apapun yang produktif. Logikanya, tidak terlalu penting kamu mendapatkan uang dari mana, yang penting uang yang ada di kamu digunakan untuk apa. Ada manfaatnya atau tidak.
Sayangnya, orang korupsi itu takut membelanjakan harta hasil korupnya. Paling cepat dua puluh persen dibelanjakan untuk barang-barang. Konsumtif lagi. Sisanya ya disimpan karena takut ketahuan atau ditaruh di luar negeri. Ketika mereka ke luar negeri, tinggalnya di rumah milik sendiri, belanja barang-barang mewah dan lain sebagainya. Ketika kembali ke tanah air di sederhana-sederhanakan gayanya sambil memperlihatkan penampilan-penampilan naif dan lugunya.
Gimana negara mau maju kalau korupsi marak, dana yang dipakai palingan hanya sepuluh persen dimanfaatkan dalam negeri, sisanya ya disimpan. Akhirnya, sektor swasta kering, proyek kering, duit dibawa ke luar negeri atau disimpan sama koruptor.
Di balik maraknya korupsi, hal itu menjadikan negara kita populer (dalam keburukan) di macanegara, di samping mendapat bonus celaan. Tapi kenyataanya, masih saja ada yang doyan korupsi. Statusnya abdi negara lagi. Malahan para koruptor saling bahu membahu untuk menutupi perbuatannya.
Bayangin aja, kalau saja para koruptor itu seratus persen memanfaatkan dananya yang triliunan di dalam negeri apalagi untuk investasi sektor produktif, wah kayak apa ngerinya ekonomi kita. Bisa-bisa negara kita jadi negara super power nantinya mengalahkan negara-negara raksasa ekonomi, sebutlah Amerika, Jerman, Inggris, Meksiko, atau China.
Harapan akan adanya pendidikan dengan sistem yang tepat, bermanfaat, serta menyeluruh besar kemungkinan akan segera terealisasikan. Koruptor mendonasikan dana korupsinya untuk menunjang fasilitas pendidikan di pusat kota maupun daerah. Hasilnya, biaya pendidikan akan terjangkau oleh siswa dan akan banyak anak-anak harapan bangsa yang kembali bisa mencicipi bangku sekolahan.
Jangankan cuma fasilitas pendidikan, kalau si koruptor menggunakan semua uang korupsinya untuk insfrastruktur hingga ke pelosok-pelosok desa, jaringan internet kita bakalan stabil. Saat mengikuti rapat di ZOOM atau Google Meet, kita-kita yang ditakdirkan hidup di pelosok desa ini, tidak bakalan keluar masuk lagi gara-gara kendala sinyal.
Kemudian kita akan cinta kepada pelaku korupsi, dengan catatan uang korupsinya digunakan untuk hal-hal produktif. Tapi ingat, korupsi yang halal hanya berlaku dalam pandangan ekonomi. Namun, yang terbaik dalam pemerintahan yang benar itu tidak ada angka korupsi dan tidak ada praktik bagi bagi jatah, di mana dana triliunan yang disediakan dimanfaatkan secara keseluruhan untuk kemaslahatan masyarakat di dalam negeri.
Sebagai penulis, saya tidak bermaksud mendiskreditkan suatu pihak. Tulisan ini hanya “sedikit” sindiran kepada para penikmat korupsi. Yang jelas, kita yang masih dalam usia produktif ini semoga bukan termasuk golongan mereka. Eh, atau kamu juga pelaku korupsi?
Oleh : Harlianor
0 Comments