Waktu berjalan mengiringi zaman. Kenangan lima tahun lalu, ketika memutuskan menjadi santri disalah satu pondok pesantren, selalu terngiang dikepala hingga saat ini. Awalnya aku menyesal, kenapa mau belajar di pondok pesantren padahal aktivitas sangat dibatasi disana. Aturan ditegakkan dengan ketat dan bermacam sanksi sudah menanti sekalipun melanggar salah satunya saja. Tidak boleh keluar tanpa ijin pengurus dan boleh keluar hanya ke tempat-tempat tertentu. Itupun harus dikawal oleh pengurus. Jamaah shalat lima waktu harus tepat waktu. Ketika terlambat, harus membaca surah Yasin tiga kali. Dan berbagai aturan lainnya yang tujuan sebenarnya untuk membiasakan santri disiplin. Sering ku rasa diri ini tak berwarna lagi. Bangunan pesantrenku berbentuk kubus dan menjulang tinggi hingga lantai 5 tanpa ada balkon sama sekali. Kerap panas ketika berada didalamnya seperti udang direbus hingga lantainya berembun karena panasnya.
Sekolah formal tidak begitu diperhatikan, tetapi segi kedisiplinan sangat diperhatikan. Aku memanglah salah satu dari pelanggar setia yang selalu terlambat berangkat ke sekolah dari kelas X hingga kelas XII. Tidak pernah absen dari guyuran, jemuran sambil melafadzkan ayat sabiul munjiat didepan kantor sekolah. Terlambat memang bukan kemauanku, namun aku terbiasa mengalah dgn teman-teman lain. Aku biarkan mereka mengambil persiapan sekolah terlebih dahulu dan aku paling akhir. Sambil menunggu mereka selesai persiapan, aku menunaikan sholat dhuha yang sudah menjadi kebiasaan sedari kecil. Sebenarnya aku sangat mungkin mempersiapkan kebutuhan sekolah sebelum shubuh, tetapi aku lebih mendahulukan qiyamul lail yang sudah menjadi rutinitas dan membaca Al-Quran hingga adzan subuh berkumandang.
Meskipun terbilang santri nakal, aku mempunyai mimpi yang tinggi. Kuliah difakultas kedokteran. Setiap dihukum oleh ustadzah karena melanggar aturan, aku turut meminta motivasi mereka agar selanjutnya tidak melanggar aturan dan memohon doa agar dapat diterima difakultas impianku. Bermimpilah setinggi langit. Jikalau mimpi itu tidak tersampaikan, setidaknya kamu masih berada diantara bintang. Sekiranya begitulah prinsip yang aku pegang. Alhamdulillah pondok tetap memberiku kesempatan sekalipun sering melanggar aturan. Tiket SNMPTN ada ditanganku. Segala sertifikat juara yang pernah diraih aku kumpulkan untuk menambah penilaian. Harapannya semoga dapat masuk FK Unair melalui jalur ini.
Dua bulan menunggu hasil, rezeki belum berpihak padaku. Aku tidak diterima dijalur ini. teman-temanku yang diterima berteriak senang dikamar, usaha yang selama ini mereka lakukan terbalas juga. Teman-teman yang tidak ikut SNMPTN turut bahagia. Untuk menghargai perasaan teman-teman, aku pura-pura menampakkan wajah bahagia sekalipun kenyataannya sedang terluka. Kemudian aku berlari ke kamar mandi dan menumpahkan segala kesedihan hingga tidak ada lagi yang tersisa.
Terlalu larut dalam kesedihan tidak akan mengubah apapun. Aku tidak menyerah begitu saja. Jalur masuk FK Unair tidak itu saja, masih ada jalur lainnya. Buku pelajaran tidak pernah absen aku baca siang hingga malam. Tak lupa berdoa disepertiga malam untuk menyempurnakan ikhtiar. Aku menargetkan bisa masuk FK Unair melalui jalur SBMPTN. Ketika akan mengerjakan soal, tak lupa aku membaca doa supaya diberi kemudahan menjawabnya.
Berbulan-bulan menunggu hasil pengumuman SBMPTN, aku tidak lelah doa. Karena tidak ada kegiatan pembelajaran lagi, aku memilih mengabdi dipondok. Menggantikan guru saat tidak masuk, menjadi penerima tamu yang akan mendaftarkan anaknya, membantu mengurusi administrasi pondok, mencuci piring ustadzah, dan kegiatan lainnya. Aku sangat mengharapkan keberkahan dari ustadzah-ustadzah dipondok.
Hari-hari yang ditunggu akhirnya tiba. Suasana kamar semakin sepi karena banyak temanku pulang. Kebanyakan mereka yang sudah diterima diperguruan tinggi atau ingin langsung bekerja. Tersisa tiga teman denganku. Dua temanku ini memang berniat mengabdi dan satunya lagi tidak pulang karena rumahnya jauh. Aku terburu-buru meminjam hp salah satu teman untuk browsing melihat hasil tesku. Setelah memasukkan nomer ujian dan tanggal lahir, aku mendapati hasil yang tidak membahagiakan. Aku tidak diterima dijalur SBMPTN. Tetesan air mata mulai membasahi kedua pipiku. Melihat kondisiku yang sedih, ketiga temanku tadi menghampiriku. Mereka mengelus punggungku sambil memberikan semangat. Namun, aku tetap tidak kuasa menahan kesedihan ini. Sedetik kemudian, aku menelungkupkan wajah sambil menangis. Semangat menghilang dalam sekejap. Tidak tahu apa yang harus diperbuat lagi. Aku pasrah.
Malam harinya, aku merenungi hasil yang selama ini didapat. Dua kali gagal dalam seleksi masuk perguruan tinggi. Apakah ini karena aku belum menguasai materi pelajaran. Namun, banyak guru yang menggadangkan aku mudah diterima lewat jalur SBMPTN. Aku mencoba memikirkan faktor lain. Hingga tak sadar aku sudah terlelap dalam alam mimpi.
Keesokan harinya, orangtua datang menjemputku. Sebelumnya, aku sudah berpesan pada mereka kalau aku pulang sehari setelah pengumuman SBMPTN. Namun, kali ini aku pulang tanpa membawa hasil. Orangtua tetap memberi semangat agar aku bangkit. Mereka mengingatkan masih ada jalur mandiri yang bisa dicoba. Aku sempat lupa kalau masih ada jalur itu. Aku tersadar, kegagalan ini bukanlah akhir. Melainkan awal dari segala proses menuju keberhasilan. Tanpa adanya kegagalan, tidak akan pernah mengecap manisnya keberhasilan. Informasi jalur mandiri berbagai jurusan kedokteran aku cari. Kemudian, orangtua menyarankan untuk daftar mandiri FK UNS.
Satu bulan berselang, pengumuman mandiri FK UNS sudah ada. Hasilnya masih sama, aku tidak diterima. Putus asa, hilang arah tujuan, sedih. Semua rasa itu menyelimuti diriku. Apakah aku harus menunggu tahun depan untuk bisa kuliah. Tiba-tiba pesan singkat masuk dalam gadget ibuku. Pesan itu berisi undangan program seleksi beasiswa santri. Ustadzah Ulfa menyarankan aku untuk mengikuti seleksi itu, bahkan pondok mengadakan bimbingan khusus santriwati yang mendapatkan undangan. Aku tidak menyiakan kesempatan ini. Sedikit demi sedikit, semangat kembali tumbuh dalam diriku. Harapannya dapat menguatkan aku untuk melintasi rintangan demi rintangan ini.
Segala usaha yang pernah aku lakukan selama ini terbayar tuntas. Segala kesedihan lenyap seketika. Semangat tumbuh kian membara. Setelah menanti dua bulan lamanya, hari pengumuman seleksi program beasiswa santri pun tiba. Kali ini aku tidak mengecek hasilnya langsung, tetapi diwakilkan oleh ustadzah Ulfa. “Alina, kamu diterima difakultas kedokteran Unair,” kata ustadzah Ulfa. Hatiku berbahagia. Aku mengucap syukur dan terima kasih yang luar biasa. Aku tidak menyangka penderitaan selama ini akan membuahkan hasil yang begitu manis.
“Selamat, Nak. Mungkin kamu tidak diterima jalur sebelumnya sebagai hukuman terlambat sekolah setiap hari.” Kata ustadzah Ulfa sambil terkekeh.
Oleh Naufal Hatta X Goodness27
0 Comments