Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang paling tua di Indonesia dan memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam perjalanannya, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina, mencerdaskan, hingga dalam ranah pengembangan masyarakat. Pada sistem pendidikan pesantren yang diterapkan di Indonesia salah satunya adalah pesantren muadalah.

Satuan pendidikan muadalah pada pondok pesantren adalah satuan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren, yakni basis kitab kuning atau dirasah islamiyah.

Pola pendidikan pada pesantren muadalah ini berjenjang dan terstruktur sehingga dapat disetarakan dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan kementerian agama.[1]

Kata muadalah sendiri berasal dari bahasa Arab berarti persamaan atau kesetaraan. Sedang dalam pengertiannya, muadalah adalah suatu proses penyetaraan antara institusi pendidikan baik pendidikan di pondok pesantren maupun di luar pesantren dengan menggunakan kriteria baku dan kualitas yang telah ditetapkan secara adil dan terbuka.

Hasil proses penyetaraan tersebut kemudian dapat dijadikan dasar dalam ranah peningkatan pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan di pesantren [2].

Dalam hal ini, pondok pesantren muadalah yang berada di Indonesia terbagi menjadi 2 macam. pertama, pondok pesantren yang lembaga pendidikannya disetarakan dengan lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri seperti Universitas al-Azhar Cairo Mesir, Universitas Umm al-Qurra Arab Saudi maupun dengan lembaga-lembaga non formal keagamaan lainnya yang ada di Timur Tengah, India, Yaman, Pakistan atau di Iran.

Pondok pesantren muadalah yang disetarakan dengan luar negeri tersebut pada awalnya belum terdata dengan baik karena umumnya mereka langsung berhubungan dengan lembaga-lembaga pendidikan luar negeri tanpa ada koordinasi dengan Depag RI maupun Departemen Pendidikan Nasional.

Kedua, pondok pesantren muadalah yang disetarakan dengan Madrasah Aliyah dalam pengelolaan Depag RI dan yang disetarakan dengan SMA dalam pengelolaan Diknas. Keduanya mendapatkan SK dari Dirjen terkait.[3]

Adanya upaya penyetaraan pendidikan pesantren ini tidak lepas dari pandangan akan pentingnya pendidikan pesantren yang tidak jauh berbeda dengan pendidikan agama Islam, yakni mencapai akhlak yang sempurna atau mendidik budi pekerti dan jiwa yang kemudian tertuang dalam pasal 3 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Di samping itu, upaya penyetaraan ini sebagai antitesa dari perjalanan sejarah panjang pemerintahan Orde Baru.

Pada masa itu, pemerintah memasukkan lembaga pendidikan pesantren bukan sebagai lembaga pendidikan formal yang setara dengan lembaga pendidikan yang ada saat itu. Melalui PP Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah [4], pemerintah Orde Baru pesantren menganggap proses pendidikan di pesantren belum menenuhi standar pendidikan nasional yang telah ditetapkan.

Adanya dominasi muatan agama dalam pesantren, menggunakan kurikulum yang belum standar, tidak adanya jaminan mutu, serta manajemen pesantren yang tidak dapat dikontrol pemerintah menjadikan pesantren dikategorikan sebagai jenis pendidikan luar sekolah.

Adanya kebijakan pemerintah tersebut ternyata memiliki dampak yang signifikan terhadap eksistensi pesantren. Pesantren sebagai lembaga tradisional Islam kemudian “terpinggirkan” ketika berhadapan dengan lembaga pendidikan modern yang lebih teratur.[5] Sehingga tidak heran, pada saat itu pesantren tidak mendapat perhatian, dukungan, maupun pembinaan dari pemerintah agar menjadi sekolah yang terstandarisasi pendidikan nasional.

Muadalah Sebagai Legitimasi Pesantren

Mengutip tulisan Ara Hidayat dan Eko Wahib, berkat perjuangan para ulama beserta tokoh-tokoh muslim, terutama yang duduk di jajaran birokrasi, akhirnya pesantren mulai mendapat pengakuan yang jelas dari pemerintah dengan adanya kebijakan muadalah.

Hal ini bisa kita lihat dengan lahirnya SK Jenderal Kelembagaan Agama Islam pada tanggal 9 Desember 1998 yang berisi pernyataan pengakuan kesetaraan kepada lulusan Pondok Modern Darusalam Gontor Ponorogo.

Lalu disusul dengan SK Menteri Pendidikan Nasional pada tanggal 29 Juni 2000, SE Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam pada tanggal 26 November 2002, hingga kemudian terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Maka pesantren secara resmi berhasil masuk dalam sub sistem pendidikan nasional. Bahkan legalitas pesantren kemudian diperkuat dengan PP Nomor 32 Tahun 2013. Sejak saat itu pondok pesantren bahkan memperoleh fasilitas yang sama dengan lembaga-lembaga pendidikan formal lainnya.[6]

Pada tahun 2015, pemerintah RI dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 22 menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional sebagai bentuk penghormatan pemerintah terhadap para ulama dan santri yang telah berkontribusi kepada NKRI baik pada sebelum maupun sesudah kemerdekaan.[7]

Semenjak pesantren telah resmi diakui keberadaan dan fungsinya, secara otomatis kedudukan santri sebagai anggota masyarakat pesantren memiliki identitas tersendiri. Walaupun kalau diruntut secara historis, pengakuan pemerintah terhadap pendidikan pesantren bisa dibilang terlambat. Pasalnya, pesantren adalah lembaga tradisional Islam yang sudah eksis sebelum negara ini merdeka.

Terlepas dari itu, kebijakan kesetaraan pendidikan (muadalah) terhadap pesantren juga bermakna sebagai upaya untuk menjaga karakteristik pesantren. Seperti yang termaktub dalam pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 bahwa pesantren tetap diselenggarakan dengan tetap menjaga kekhasan atau keunikan tertentu yang mencerminkan tradisi, kehendak dan cita-cita, serta ragam dan karakter pesantren.[8]

Salah satu ciri dari kekhasannya adalah Panca Jiwa Pondok Pesantren yang meliputi keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah islamiyah dan jiwa bebas. Panca jiwa ini dicetuskan oleh KH. Imam Zarkasyi yang lebih lanjut diuraikan oleh Umar Bukhari [9] dalam risetnya, bahwa jiwa ikhlas berarti sepi ing pamrih (tidak didorong oleh motif untuk meraih keuntungan tertentu), karena niat utama hanyalah ibadah semata. Jiwa sederhana mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati dalam menghadapi semua kesulitan.

Ketiga, jiwa berdikari (kemandirian) yang berarti bahwa santri dan pesantren tidak pernah menyandarkan hidupnya pada bantuan dan belas kasihan orang atau lembaga lain. Ada usaha untuk belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri. Keempat, jiwa ukhuwah diniyah yang demokratis, yang bermakna suasana persaudaraan yang akrab, persatuan dan gotong royong.

Lalu pada jiwa bebas berarti bebas berpikir, berbuat, menentukan masa depan serta memilih jalan hidup di dalam masyarakat. Santri diharapkan memiliki jiwa besar dan optimis dalam menghadapi kehidupan. Namun, kebebasan ini harus tetap berada dalam garis-garis kedisiplinan dan tanggung jawab.

Selain itu, para santri di pesantren tidak hanya diberikan mata pelajaran formal dari kurikulum pendidikan nasional, tetapi mereka juga terfokus pada pendidikan agama yang berbasis kitab kuning sebagai kekhasannya. Adanya legalitas ini tentu menjadikan para santri tamatan pesantren lebih mudah dalam mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi bahkan melamar pekerjaan sekalipun pada sektor formal.

Catatan Kaki

[1] Peraturan Menteri Agama RI Nomor 18 Tahun 2014, hlm. 3.
[2] M. Ishom Yusqi, Pedoman Penyelenggaraan Pondok Pesantren Muadalah (Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam, Direktorat PD Pontren, 2009), hlm. 11.
[3] Choirul Fuad Yusuf, Pedoman Pesantren Muadalah (Jakarta: Direktur Jenderal Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, 2009), hlm. 8.
[4] Peraturan Pemerintah RI Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, pasal 3 ayat (1).
[5] Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Pesantren di Lirboyo Kediri, (Kediri: IAIT Pres, 2008), hlm. 2.
[6] Ara Hidayat dan Eko Wahib, Kebijakan Pesantren Muadalah dan Implementasi Kurikulum di Madrasah Aliyah Salafiyah Pondok Tremas Pacitan, Jurnal Pendidikan Islam Islam, Vol. III, hlm. 185.
[7] Izzuddin Ramadhan, Skripsi, Hari Santri Nasional: Studi Komparatif Respons Politik Ormas Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah), hlm. 9.
[8] Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren.
[9] Umar Bukhory, Status Pesantren Muadalah: Antara Pembebasan dan Pengebirian Jatidiri Pendidikan Pesantren, Jurnal Karsa, Vol. IXI No. 1 April 2011, hlm. 53-54.

Categories: Uncategorized

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *