Beberapa orang hanya butuh didengarkan. Kamu tidak harus kuat sepanjang waktu. Jika di bawah langit-Nya, kamu tengah terpelanting jatuh, berbagi dan menangislah bersamaku.
Memasuki waktu dewasa, kamu akan melihat banyak sekali hal –yang jauh sebelum itu belum pernah sekalipun matamu menjumpainya. Matamu bakal mendapati bahwa menjadi dewasa bukanlah perihal apa-apa saja yang kamu imajinasikan saat umurmu belum genap lima belas tahun. Bibirmu bakal lebih banyak berpura-pura untuk tertawa atau sekedar menyunggin. Untuk apa? Tentu agar tidak ada yang paham bahwa sesungguhnya kamu sedang tidak baik-baik saja. Lama-lama kamu akan amat lihai menjadi pembohong publik. Awalnya, kamu tidak bisa menahan diri. Kamu akan menangis kencang tidak peduli ada orang lain yang melihat air mata yang mengalir di bawah kelopak matamu itu atau tidak. Atau memamerkan sesuatu hal yang menurutmu dunia harus melihatnya. Itu kamu yang dulu. Sampai pada suatu waktu bola matamu tidak sengaja melihat teman seperkuliahanmu yang tetap tersenyum, sedang dunia tengah menghujatnya habis-habisan; matamu tidak sengaja melihat teman satu kosmu tetap haha-hihi meski masalah hidupnya sedang hadir bertubi-tubi. Kamu akhirnya belajar bahwa dunia enggan sekali melihat sisi lemahmu. Dunia akan mengejek jika kamu hanya mampu menangis dan menangis lagi setelah dua puluh satu tahun hidup. Dunia akan berkata bahwa kamu kurang sekali bersyukur. Kurang menerima perihal kamu yang –katanya- lebih baik dari orang lain. Secara sadar, kamu dituntut untuk menjadi kamu versi orang lain –yang harus kuat; yang harus tegak, yang pantang menyerah, yang tak pernah menangis sekalipun.
Kamu –akhirnya- dewasa dengan standar orang lain. Orang-orang mengenalmu menjadi pribadi yang kuat sekali. Tanpa masa-masa jatuh barang sedetik. Orang-orang menyanjungmu karena kamu yang begitu tegar. Mereka bertanya-tanya bagaimana caranya menjadi seperti dirimu. Mereka iri karena kamu seolah sempurna. Bersekolah di universitas dambaan orang-orang, lolos dalam satu kali seleksi, menjadi aktivis dan dikenal oleh banyak anak-anak kampus dan menjadi perbincangan orang-orang desa tempat kamu dilahirkan bagaimana pintarnya kamu saat ini.
Mereka tidak pernah mengerti bahwa di antara banyaknya kriteria kesempurnaan yang tercapai itu –kriteria yang sebenarnya orang-orang buat dengan seenak jidat-, kamu seringkali jatuh sejatuh-jatuhnya. Kamu patah. Kamu hancur. Kamu tidak sedang baik-baik saja. Awalnya, kamu mencoba menangkalnya dengan baik. Kamu tetap tampil seperti biasanya meski sebenarnya kamu sedang tidak begitu. Lama kelamaaan kamu lelah. Kamu kewalahan menghadapi dirimu sendiri. Akademik kampus yang kacau. Organisasi yang benar-benar membuatmu lelah. Tak lepas, keluarga yang selalu membuatmu merasa terdiskriminasi. Lama kelamaan kamu menjadi ketakutan. Kamu takut kamu tidak bisa melanjutkan pendidikan yang tengah kamu jalani sekarang ini. Kamu takut kamu tidak bisa lulus tepat waktu. Kamu takut kamu akan menjadi bodoh dan orang-orang akan pergi meninggalkanmu. Kamu takut tidak bisa menjalankan tugas organisasimu dengan baik. Kamu takut orang-orang satu organisasimu akan pergi meninggalkanmu karena kamu tampak tak becus mengerjakan satu dua hal. Kamu akhirnya menjadi dua pribadi yang berbeda. Kamu di depan orang-orang yang tersenyum seperti biasanya dan kamu saat sendirian yang diselimuti ketakutan dan tangisan.
Kamu mencoba menceritakannya kepada salah seorang yang kamu anggap dekat. Katanya, “aelah gitu doang mah jangan dibawa ke hati”. Kamu hanya mampu terdiam saat kalimat temanmu itu terlontar. Kamu semakin ketakutan. Kamu tahu bahwa dunia tidak akan menerima kamu yang penuh ketakutan seperti ini. Kamu benar-benar tidak bisa menceritakanya kepada siapapun. Dua kali bercerita dengan orang yang berbeda jawabannya sama. Kamu yang lemah tidak akan diterima oleh dunia. Saat kamu membuka kepedihanmu kepada dunia, dunia akan menambahkan kepedihan lagi dan lagi bahwa kamu payah.
Kamu benar-benar sendiri. Kamu merasa diawasi oleh sepasang mata saat kamu sendiri. Kamu merasa ada orang lain di belakangmu entah saat berbaring, terduduk atau berjalan seorang diri. Lambat-lambat, kamu mulai berpikir bahwa sebenarnya kamu bukan hanya sedang tidak baik-baik saja. Kamu sakit. Sakit yang tak tampak dan sudah terlalu lama melekat dalam tubuhmu itu. Kamu mencoba mengobatinya dengan obat pereda pusing. Efeknya? Tidak ada yang berubah. Kamu justru bertambah ketakutan sejalan dengan bertambahnya hari. Setiap malam kamu selalu dihadiri mimpi-mimpi buruk. Mimpi buruk yang sama dan terus berulang. Kamu ketakutan dan merasa amat sendirian.
Sampai pada waktu yang lama, kamu takut untuk hidup. Orang-orang mulai menagih tanggungjawabmu satu persatu. Sedangkan, kamu belum mampu melaksanakannya dengan baik bahkan meski sudah berkali-kali menatanya satu persatu. Kamu benar-benar kewalahan. Kamu tak dapat melakukan apapun. Ribuan pesan yang masuk di ponsel pintarmu itu hanya mampu kamu pandangi. Kamu takut untuk membacanya. Kamu meninggalkan dan melampiaskan semuanya lewat tidurmu. Tapi rupanya kamu tak pernah mampu berlari meski sudah menutup kelopak matamu. Mimpi-mimpi buruk terus saja datang. Kamu kelelahan. Kamu benar-benar takut untuk hidup karena tidur yang menurutmu mampu menjadi obat justru menjadi penambah rasa sakit. Kamu, benar-benar takut untuk hidup!
Di saat-saat ketakutanmu untuk hidup, kamu menyendiri lagi di salah satu malam. Mengulang tangisan yang sama dengan malam-malam yang lain. Menerbangkan do’a lagi dan lagi. Malam itu kamu benar-benar terpuruk. Kamu menyadari kamu telah jatuh teramat dalam. Kamu mengingat kembali bagaimana pedihnya omongan orang-orang. Saat terburuk seperti ini kamu mencoba kembali berdiri. Kamu paham. Tidak ada siapapun di dunia ini yang dapat membantu hidupmu untuk bahagia secara utuh. Kecuali dirimu sendiri. Bukan opini orang lain yang kamu butuhkan. Atau obat pereda yang harus kamu telan. Obat dari seluruh rasa sakit dan takut yang seutuhnya adalah dirimu sendiri.
Kamu pun bangkit dan berdiri. Kamu mencoba menatanya kembali satu persatu. Kamu berobat kepada ahli psikiatri dan mendapati dirimu terdiagnosis depresi berat. Tak apa. Katamu kepada dirimu sendiri. Dokter meresepkanmu obat untuk memperbaiki tidurmu. Kamu memulai semuanya kembali. Tidurmu membaik. Meski sesekali, mimpi buruk masih menghampiri. Perlahan, tak terburu dan tergesa, kamu mulai menerima dirimu sendiri. Kamu mulai memahami bahwa hidup yang kamu jalani ini tidak terpatri oleh standar orang lain. Kamu menjadi dirimu yang seutuhnya. Selepas senja tenggelam dan waktu menunjukkan tengah malam, kamu menyendiri, menangis dan mengadu cerita dengan-Nya. Seusai fajar memeluk langit dan menampakkan diri di tengah-tengah warna biru cerah, kamu menjadi pendengar bagi cerita-cerita orang lain. Tentang hidup yang sedang jatuh-jatuhnya; tentang luka yang tak kunjung sembuh-sembuhnya; tentang trauma yang tak kunjung hilang juga. Seringkali kamu tak mendapati solusi atas cerita-cerita mereka. Meski begitu kamu tetap menjadi pendengar yang baik untuk mereka. Karena bagimu, tidak seluruh cerita yang ada perlu solusi. Beberapa orang hanya butuh didengarkan. Bukan dijatuhkan dan dipaksakan untuk mengikuti standar dunia yang dibuat oleh orang-orang.
Hidup hanya sekali. Tuhan tidak menciptakanmu untuk menjadi orang lain lewat satu kali waktu yang telah diberikan-Nya itu.
*Mutiara senja; Menulislah! Kau akan mati, tapi tidak dengan tulisan-tulisanmu.
Karya : Mutiara Senja
0 Comments