“Sistim pada penanggalan Jawa disebut juga penanggalan Jawa Candrasangkala atau perhitungan penanggalan berdasarkan bulan mengitari bumi”
Masyarakat Jawa terbiasa hidup dengan banyak almanak. Kondisi geografis dan persilangan budaya “memaksa” masyarakat Jawa khidmat mengikuti berbagai hitungan waktu. Masyarakat Jawa mengenal almanak dari India (Tahun Saka), Islam (Hijriyah), dan perhitungan waktu berdasarkan musim. Saat ini, masyarakat Jawa mengenal almanak masehi, almanak Islam, dan almanak Jawa. Persinggungan dengan berbagai kalender tersebut tidak merubah citra masyarakat Jawa terhadap hitungan waktu.
Kalender Jawa merupakan sebuah karya yang istimewa karena memiliki perpaduan budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa, bahkan budaya Barat. Sistem penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan sistem penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensif nya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian orang Jawa saat itu, dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranata kehidupan manusia.
Sistem penanggalan Jawa memiliki dua siklus hari yang dipakai yaitu siklus pekan yang terdiri dari tujuh hari seperti kita kenal sekarang, dan siklus pekan pancawara-pasaran yang terdiri dari lima hari pasaran. Perhitungan dengan siklus lima harian, yaitu Kliwon/Kasih, Legi/Manis, Pahing/Jenar, Pon/Palguna, dan Wage/Kresna/Lengking. Sedangkan perhitungan dengan siklus tujuh harian, yaitu Saptawara-Padinan, dengan siklus tujuh harian yaitu Minggu/Radite, Senen/Soma, Selasa/Anggara, Rebo/Budha, Kemis/Respati, Jemuwah/Sukra, Setu/Tumpak/Saniacara.
Bulan Jawa atau yang biasa disebut sasi ada 12, yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Madi Awal, Madi Lakhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Apit, Besar. Tidak bisa dipungkiri, penamaan bulan Jawa terkulturasi dengan bulan Hijriyah hanya saja penamaannya disesuaikan dengan vokal orang Jawa dahulu, hal ini dapat dikarenakan orang Jawa dahulu belum begitu fasih dalam pengucapan Bahasa Arab. Dalam almanak Hijriyah tahun panjang disebut tahun kabisat dan tahun pendek disebut tahun basithah, sedangkan dalam almanak Jawa tahun panjang dikenal dengan istilah tahun wuntu dan tahun pendek disebut tahun wastu. Dalam sewindu (8 tahun), orang Jawa menyebutnya tahun: Alip, Ahe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakhir. Terbagi menjadi 3 tahun panjang (wuntu) yang terdiri 355 hari yaitu tahun Ahe, Je, Jimakhir dan lima lainnya termasuk tahun pendek (tahun wastu) yang terdiri dari 354 hari yaitu Alip, Jimawal, Dal, Be, Wawu.
Sistim penanggalan Jawa disebut juga penanggalan Jawa Candrasangkala atau perhitungan penanggalan berdasarkan bulan mengitari bumi. Perhitungan penanggalan Jawa sudah dicocokkan dengan penanggalan Hijriyah, tetapi pencocokan ini bukanlah menjiplak sepenuhnya. Ada perbedaan penanggalan Jawa dengan penanggalan Hijriyah, perbedaannya terletak pada penentuan pergantian hari ketika berganti sasi/bulan. Hal yang membedakan yaitu, untuk menentukan pergantian bulan Hijriyah digunakan metode rukyat dan hilal, sedangkan penentuan pergantian bulan penanggalan Candrasangkala memiliki waktu tetap yaitu ketika surup/waktu Maghrib.
Kebanyakan masyarakat Jawa mendasarkan atas hari yang berjumlah tujuh (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) dan disandingkan dengan hari pasaran yang jumlahnya lima (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage), setiap hari tentunya akan jatuh pada pasaran tertentu dengan jumlah perhitungan tertentu juga. Dalam melakukan hajat pernikahan, hajat khitanan, mendirikan rumah, memulai usaha, bepergian, dan sebagainya, orang Jawa juga percaya adanya watak yang diakibatkan dari pengaruh pasaran, jadi ketika akan melakukan golek dino becik (mencari rezeki hari baik) disesuaikan dengan hari tujuh dan pasarannya.
Dalam almanak Jawa juga kaya akan mitos dan kesakralannya di antaranya adalah mengenai hari, tanggal, bulan, dan tahun tertentu, misalnya dalam hari Jumat Wage masih dijumpai adanya ritual-ritual seperti memberi sesajen di perempatan jalan atau samping jembatan, memandikan benda-benda pusaka, dan ada juga yang memanfaatkan hari Jumat untuk ziarah ke makam leluhur atau para ulama.
Di masyarakat Jawa sendiri hari yang dianggap keramat berbeda-beda tergantung daerahnya. Di daerah Jawa Tengah menganggap malam Jumat Wage lah yang dikeramatkan, sedangkan di daerah lain menganggap Jumat Kliwon atau Jumat Legi paling keramat. Hari Jumat adalah hari jatah Islam setelah Sabtu dimiliki Yahudi dan Minggu dimiliki Nasrani.
Untuk bulan, misalnya dalam penentuan hari baik atau buruknya untuk mantu/pernikahan, pada bulan Suro dilarang menikah karena diyakini kalau menikah di bulan tersebut akan sering terjadi pertengkaran dan menemui banyak kerusakan, begitulah citra almanak Jawa, maka dari itu hampir tidak pernah ditemukan orang Jawa yang masih kental dengan almanak Jawa akan melangsungkan pernikahan pada bulan Suro. Sedangkan bulan yang dicitrakan baik untuk menggelar pernikahan adalah bulan Besar karena akan ada bahagia atau mendatangkan kesenangan dan keselamatan bagi pasangan setelah menikah.
Selain mitos hari dan bulan di atas, dalam mencari rezeki nafkah misalnya berdagang, orang Jawa memiliki petungan (prediksi) khusus untuk mencapai sukses atau mendapatkan angsar (pengaruh nasib) yang baik, sehingga menjadikan rezekinya lebih mudah. Misalnya, dalam Kitab Primbon (pustaka kejawen) terdapat berbagai cara dan keyakinan turun temurun yang harus dilakukan orang yang akan melakukan kegiatan usaha perdagangan. untuk memulai suatu usaha perdagangan orang Jawa perlu memilih hari baik, diyakini bahwa berawal dari hari baik perjalanan usaha pun akan membuahkan hasil maksimal, dan terhindar dari kegagalan atau kebangkrutan. Golek dina becik (mencari rezeki hari yang baik) untuk memulai usaha dagang pada hakekatnya adalah mencari rezeki perpaduan hari, pasaran, tahun, windu, dan mangsa yang menghasilkan penyatuan karakter baik. Karena kalender Jawa ini disusun berdasarkan kejadian alam dan pengamatan terhadap pengalaman hidup dari masyarakat selama bertahun-tahun, maka kalender Jawa dapat dipakai untuk berbagai tujuan yang bermanfaat bagi umat manusia.
Kalender Jawa misalnya bisa dipakai untuk mengenali fenomena alam yang berdampak langsung terhadap sifat dan watak seseorang. Dalam hal ini setiap sikap, wujud perilaku, dan watak pembawaan seorang individu dipercaya mempunyai ciri-ciri yang khas untuk individu yang lahir dalam kurun waktu sama. Artinya individu yang lahir pada waktu sama dipercayai memiliki ciri-ciri yang sama. Demikian pula individu yang lahir pada hari pasaran yang sama dipercayai memiliki pembawaan watak yang sama, misalnya individu yang lahir di hari Selasa Legi/Manis, dipercayai orang tuanya akan lebih lancar dalam mencari rezeki setelah lahirnya anak itu.
Selain itu, kalender Jawa dapat pula digunakan untuk memprediksi atau meramal kejadian alam yang skalanya lebih besar dari kehidupan seseorang. Contoh dari kejadian alam antara lain, ketiga (musim kemarau), rendheng (musim hujan), gerhana, air pasang, dan bencana alam.
Terlepas dari itu semua, itu hanya kepercayaan semata, tidak semua orang Jawa pada masa ini masih berkiblat pada primbon Jawa. Sejatinya semua kejadian berjalan sesuai kehendak Tuhan, primbon.
Karya: Zuhrotun Nisak
0 Comments